“Peran pendidikan di Pesantren memiliki pengaruh yang
besar bagi para penerus bangsa, bagi para calon pemimpin negara di masa depan,
karena pesantren mampu melahirkan ulama’ yang intelek dan intelek yang ulama’
Pada umumnya di kalangan santri yang telah menjadi alumni,
keluar dari pesantren adalah waktu yang ditunggu-tunggu. Terasa lama jika
selalu dipikirkan, tapi terasa cepat jika ikhlas menjalaninya. Katanya, mereka
merindukan alam yang bebas, tidak seperti di pesantren yang selalu diatur ke
sana ke sini. Hal ini sangatlah bertolak belakang dengan pemikiran Pipit yang
justru belum merasa puas hidup kurang lebih empat tahun di pesantren.
Nama lengkapnya Abid Hanifa Puspitowati. Lahir di Bogor,
27 Februari 1995, berdomisinil di Madiun, merupakan seorang yang berketurunan
Jawa Timur asli dari pasangan Bapak Fatkhul Mudjib (Ponorogo) dan Ibu Surti
Zaujiyah (Madiun). Tetapi walaupun dia berdarah jawa asli, tak jarang sulit
untuk berbicara dengan bahasa jawanya. Sedikit cerita mengenai itu, pada suatu
saat dia pulang dari pesantrennya dari Nganjuk menuju rumahnya di Madiun
bersama seorang sepupunya. Setelah sampai di pemberhentian bus, mereka berdua
berniat untuk menaiki dokar (bahasa jawa dari delman) untuk menuju rumah
tepatnya di desa Joho. Setelah ditanya tarifnya, ternyata pak kusir menjawab “Selangkung
nduk ayu”. Spontan mereka berdua yang sama-sama tidak begitu mengerti bahasa
jawa saling bertatap muka dan bertanya-tanya. Karena gengsi untuk langsung
bertanya kepada pak kusir, akhirnya pipit memberanikan diri untuk bertanya
kepada seoarng penjual pulsa. Ketika dia bertanya selangkung itu berapa, si
penjual pulsa menjawab sambil tertawa, mungkin sang penjual berpikir, gaya
sekali anak ini, selangkung saja tidak tahu artinya. Ternyata selangkung itu 25
ribu. Ya itu singkat cerita.
Pipit merupakan salah satu alumni santriwati dari Pondok
Modern Al-islam Nganjuk tahun 2014. Di pesantrennya, dia terkenal seorang yang
pintar, tegas, cantik, sopan, sederhana, dan juga disegani di kalangan teman
santrinya, karena dia juga sempat menjabat sebagai Koordinator bagian keamanan
pondok putri di Organisasi Pelajar Pondok Modern Al-Islam dan juga sebagai
koordinator seksi kegiatan di pramuka Brajamukti Al-Islam. Tak jarang banyak
santriwan yang jatuh hati padanya. Prestasi yang pernah dia capai selama di
pesantren adalah selalu berada di peringkat pertama selama kurang lebih 4 tahun
nyantri di sana. Selain itu, pernah menjadi juara 1 KSM cabang PAI se-Kabupaten
Nganjuk pada tahun 2011. Juara 1 KSM cabang bahasa Arab se-Kabupaten Nganjuk
tahun 2012. Juara harapan 3 CCQ se-Kabupaten Nganjuk tahun 2013. Dan prestasi
yang terakhir kali dia dapatkan di Al-Islam adalah menjadi wisudawan terbaik
ke-2 tahun 2014.
Setelah keluar dari Al-islam niatan untuk meneruskan
pendidikan di perkuliahan akhirnya tercapai. Sekarang ini, pipit menjadi salah
satu mahasiswa prodi sastra Inggris di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang jalur
SBMPTN. Awalnya dia tidak yakin untuk masuk sastra Inggris, karena dia berpikir
bahwa dirinya lebih mampu di sastra Arab. Tetapi, setelah menjalani perkuliahan
selama kurang lebih dua tahun, akhirnya dia tersadar bahwa rencana Allah lebih
baik dan lebih indah dari apa yang kita inginkan. Karena Allah memberikan apa
yang kita butuhkan, bukan memberikan apa yang kita inginkan. Dia sempat
dipercaya untuk menjadi duta bahasa inggris antar asrama di UIN Malik Ibrahim.
Setelah dua tahun keluar dari pesantren, ia merasakan
bahwa ilmu yang ia dapat di pesantren belum sepenuhnya melekat. Pipit sempat
menyesal karena tidak bisa dan tidak suka membaca kitab kuning. Karena teryata
di UIN Malik Ibrahim membaca kitab kuning itu masih di budayakan. Selain itu,
ilmu-ilmu yang dia dapatkan ketika di pesantren, ternyata sangatlah bermanfaat
ketika di bangku perkuliahan, seperti Mustholah al-hadits, balaghoh, nahwu, shorof,
tarikh at-tasyi’ di semester pertama. Yang paling besar dia rasakan manfaat
ilmu dari pesantren adalah di bidang bahasa. Karena dia tinggal di Ma’hadnya
UIN, sistem yang diinginkan oleh pihak
Ma’had juga bilingual atau memakai dua
bahasa, tetapi masih sulit untuk direalisasikan, maka dari itu hanya hari-hari
tertentu yang diwajibkan untuk menggunakan bilingual.
Dari pesantren kemudian keluar menuju alam bebas,
merupakan sesuatu yang menakutkan pada awalnya bagi pipit. Karena, melihat
pergaulan remaja di era modern ini, takut tergeret arus remaja kekinian. Dia
tersadar, akan hal itu tidak selamanya harus dia takuti, karena pada hakekatnya
manusia adalah makhluk sosial yang saling mebutuhkan satu sama lain, tidak
mungkin dia akan hidup menyendiri, atau men-sufikan diri di Malang. Yang
terpenting adalah prinsip yang dia genggam, untuk selalu istiqomah berada di
jalan yang benar.
Berbicara tentang pendidikan di pesantren, dia
beranggapan bahwa, pendidikan pesantern itu adalah sangat penting bagi para calon penerus bangsa yang berkarakter. Keunggulan
yang didapatkan dalam pola pendidikan pesantren adalah sistem belajar 24 jam.
Setiap hari para santri tidak pernah berhenti belajar. Entah ilmu apa saja yang
dipelajari. Mengkaji dan mengkritisi kitab-kitab fiqih misalnya. Dan di satu
sisi, belajar terjun ke masyarakat untuk melihat langsung kondisi masyarakat di
sekitar. Seperti misalnya mengajar baca al-qur’an di TPA setempat, membina
pramuka di sekolah-sekolah, dan lain sebagainya. Dengan itu, santri dibekali
ilmu-ilmu untuk menghadapi konflik-konflik yang sedang terjadi di masyarkat.
Sistem pendidikan pesantren yang non stop itu telah
terbukti mencerdaskan para santrinya secara utuh dan sempurna. Semua sasaran
pendidikan sebagaimana yang diungkapkan Benjamin S. Blomm dalam kitab ushulutarbiyyah
wa ta’limiyyah, yaitu kognitif (pikiran atau hafalan), afektif (feeling
atau emosi), dan psikomotorik (tindakan) telah diimplementasikan dalam sistem
pendidikanpesantren.
Bisa dikatakan demikian karena dalam pesantren, pengetahuan
para santri diramu, dan disajikan dalam bentuk praktek dan pengalaman. Bahkan
ketika seorang santri ingin dinyatakan lulus dari pesantren, terlebih dahulu
harus mengikuti ujian praktek mengajar atau biasa disebut amaliyyah
at-tadrisiyyah, di mana para santri ditahun akhir itu diharapkan dapat
mengajar dengan baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam ilmu pendidikan.
Maka dengan begitu, para santri pantaslah menjadi penerus
bangsa yang berkarakter, diproduksi dari pesantren yang menghasilkan ulama’
berintelektual dan menciptakan intelektual yang ulama’ untuk menghadapi masa
depan.
Penulis : Dewi Indah Dahlia
0 komentar:
Posting Komentar