Sore ini,
pukul 18:05 – 18:30, hasratku tertuju pada acara Metro This Week. Acara yang merangkum berita “besar” dalam sepekan
ini seperti harus ku tonton. Selama sepekan terkapar karena sakit, hampir aku
ketinggalan berita-berita di televisi. Bagi sebagian orang mungkin tidak
penting, tetapi bagiku berita televisi juga penting, meski untuk saat ini
berita yang menyangkut urusan negara mulai dimuati kepentingan. Selain berita
politik, infotainment juga menarik. Sejarah memang tidak hanya berisi kejadian
“besar”, kejadian “kecil” pun turut mengisi sejarah. Karena itu, bagiku, selain
berita tentang KPK, berita tentang Asmirandah juga layak untuk disimak. Untuk
memperoleh berita pembanding, biasanya aku berlari ke media selain televisi,
seperti koran.
Sebagai
bagian kecil dari bangsa dan warga negara Republik Indonesia, aku pun turut
miris melihat kondisi bangsa dan negara ini. Sepertinya Indonesia sudah dalam
kondisi kritis dari penyakit komplikasi. Banyak bidang yang ada di Indonesia,
tidak bisa lagi dibanggakan. Bahkan pertanian dan perikanan yang seharusnya
menjadi lahan kita pun sudah tidak bisa berbuat banyak di dunia. Belum lagi
masalah pertambangan. Kekayaan alam yang ada di Indonesia, barangkali cukup
untuk menyejahterakan seluruh masyarakat Indonesia. Bahkan bisa saja Indonesia
menjadi semacam badan amal dunia yang membantu menyejahterakan masyarakat
internasional.
Bidang
pendidikan di Indonesia, sudah tertinggal jauh bahkan oleh negara tetangga
sekalipun, Singapura. Untuk kurikulum yang kerap ganti, bukanlah masalah utama
jika sedikit melihat ke dalam. Toh berganti-ganti kurikulum pun materi
pelajaran tetap itu-itu saja, gurunya ya itu-itu saja. Kalau guru di lembaga
pendidikan formal memang menguasai materi pelajaran dan sanggup mendidik (bukan
hanya mengajar), tentu kurikulum yang ganti bukanlah masalah berat.
Produk-produk lembaga pendidikan formal di Indonesia, secara umum, hanya
sanggup melahirkan buruh. Buruh bukan hanya yang bekerja di pabrik saja, tetapi
PNS pun bisa disebut buruh. Indonesia, yang sudah berusia 68 tahun lebih, belum
pernah menempatkan seorang putra bangsa meraih nobel. Belum lagi kenakalan
remaja. Kasus tawuran dan perkosaan yang kerap menimpa murid sekolah (baik SMP
maupun SMA), mengurangi kepercayaan orang tua terhadap lembaga yang menyedot
APBN sebesar 20% ini. Ada pula lembaga pendidikan seperti pesantren. Namun di
zaman sekarangpun pesantren, belum mampu melahirkan produk yang bisa banyak
bicara di tingkat nasional.
Bebagai
kasus korupsi yang menghiasi layar televisi dan halaman koran pun seolah
menjadi hal lumrah. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap
aparat pemerintah. Bahkan aparat yang belum tertangkap karena korupsipun sudah
dianggap akan korupsi. Di saat seperti ini, banyak kalangan yang dengan rasa Ge-eR maju ke pentas Pemilu, menyuarakan
suara untuk membasmi korupsi. Sepertinya suara mereka sangat manis ditengah
pahitnya kultur birokrasi negara ini. Tidak kalah miris adalah kasus korupsi
menimpa pejabat dibidang yudikatif, yang tugasnya untuk menegakkan hukum di
negeri ini. Ada juga dari partai yang katanya religius pun kadernya terjerat
korupsi juga. Di tingkat sekolah, saling mencontek seperti hal biasa. Jika
sejak kecil, pendidikan korupsi sudah diterapkan tanpa tindakan tegas, masihkah
berharap korupsi hilang di negeri ini? Memang ada KPK yang sampai saat ini
cukup hebat membongkar berbagai kasus korupsi, tetapi KPK tidak ubahnya MUI,
yang merinding saat berhadapan dengan rezim berkuasa. Logis memang, anggota KPK
tidak seberapa dibanding kasus yang mereka harus selesaikan. Bahkan KPK bisa
saja mati dikeroyok jika pejabat negeri ini ramai-ramai korupsi.
Negara
dengan populasi muslim terbesar di dunia ini juga tidak terlepas dari masalah
kerukunan umat beragama. Bahkan umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini
pun belum mampu menciptakan kerukunan internal. Saling menyerang keyakinan
aliran Islam lain sudah lazim. Biasanya adalah kalangan Ahmadiyah dan Syi’ah
yang diserang. Atau juga kalangan Islam Liberal. Saat penyerangan melalui meja
dialog sudah tidak bisa menyelesaikan, lari ke fisik. Penyerangan tempat ibadah
kelompok tertentu sudah marak. Di saat seperti ini, menteri agama justru
mengeluarkan pernyataan yang menyesakkan dada. Katanya, dalam sebuah pertemuan,
untuk menyelesaikan kasus ini usir saja Ahmadiyah. Memang segampang itu?
Ahmadiyah pun sudah ada sejak pra kemerdekaan, bahkan presiden pertama
Indonesia, Soekarno pernah dituduh sebagai misionaris Ahmadiyah. Belum lagi
hubungan antar agama yang secara mendasar sudah terdapat beragam perbedaan.
Masih
banyak contoh lain yang menggambarkan hancurnya negara dan mental bangsa saat
ini. Masihkah kita diam saja? Menunggu pemimpin yang sanggup membangun
Indonesia? Bukankah keberhasilan pemimpin juga ditunjang dari masyarakat yang
dipimpinnya? Sambil berusaha melahirkan pemimpin yang hebat, yang sanggup
menyejahterakan seluruh masyarakat, kita sebagai bagian dari masyarakat pun
halal untuk turut membangun Indonesia. Sejelek apapun Indonesia saat ini, jangan
putus asa mencintai republik ini. Negeri ini sangar kaya akan sumber daya
alamnya, masyarakatnya sangat banyak dan beragam. Dahulu, negeri ini dikenal
sebagai surga dunia, dengan kekayaan alamnya dan keramahan masyarakatnya. Untuk
sekarang, anggapan seperti itu perlu dikaji ulang. Dibalik hancurnya negara
ini, tentu masih ada mereka yang peduli terhadap keutuhan negeri ini. Mereka
yang peduli inilah yang jarang sekali disorot media. Kira-kira, dimanakah
posisi kita saat ini? Bergabung dengan “gerakan” penghancur negeri? Pembangun
negeri? Atau diam saja mengikuti keadaan yang terus berganti?
Penulis :
Zeed Hamdy Rukman
0 komentar:
Posting Komentar