Mungkin sebagian dari kita jarang mendengar nama daerah Pambusuang
yang di juluki sebagai kampungnya para ulama. Kebanyakan dari kita lebih sering
mengenal dan mendengar istilah kampung inggris di Pare Kediri Jawa Timur beda
lagi dengan daerah yang satu ini. Pambusuang merupakan salah satu nama daerah
yang ada di Sulawesi Barat. Disana merupakan tempat untuk belajar kitab kuning
yang dikenal dengan istilah mattaleq kittaq. Mattaleq kittaq merupakan
bahasa mandar yang asal sub katanya dari kata taleq yang artinya
menelaah. Secara bahasa pengertian mattaleq adalah proses menelaah dan
mengkaji. Sedangkan menurut istilahnya mattaleq adalah suatu kegiatan menelaah
dan mengkaji kitab kuning dengan pendekatan ilmu nahwu.
Tidak hanya itu, pengajiaan kitab kuning/pengajian kittaq
ternyata berkaitan dengan lahirnya pesantren yang ada di Pambusuang yaitu
Pesantren Nuhiyah. Bentuk “Pengajian kittaq” masih bisa ditemukan berlangsung
di Pambusuang, baik di beberapa rumah annangguru maupun pengajian-pengajian di
malam tertentu di Masjid At-Taqwa. Bisa dikatakan bahwasannya tradisi keilmuaan
mengkaji isi buku berasal dari tradisi ratusan tahun lalu lamanya yang hanya
mengkaji buku-buku agama yang aksaranya aksara arab gundul (oleh karena itu
biasa disebut juga “kittaq gondol” atau “kittaq kuning” sebab kertasnya
kebanyakan kuning), kajian buku yang telah menjadi tradisi hanya ada di
Pambusuang. Di Pambusuan sendiri santri atau siswa yang belajar disini tidak
dikenakan biaya belajar/bimbingan sama sekali, cukup membawa bekal/persediaan
makanan disana. Banyak orang yang bertanya-tanya kenapa di pambusuang dijuluki
sebagai kampungnya para ulama? Karena di Pambusuang banyak para ulama-ulama
(annangguru) yang mengajarkan kitab kuning bahkan disetiap lorong jalan pasti
ada rumah annangguru. Kata penduduk didaerah sana, ia mengistilahkan lorong
jalan itu sebagai loronna suruga (lorong surga). Di Pambusuang sendiri tidak
dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas asrama pada umumnya. Disana hanya ada
sebuah rumah kayu yang sangat sederhana yang diwakafkan oleh masyarakat yang
kemudian dijadikan sebagai tempat tinggal bagi santri-santri yang ingin
menuntut ilmu di kampung para ulama tersebut. Banyak sekolah-sekolah agama
khusunya pesantren dari berbagai daerah datang untuk menuntut ilmu di kampung
para ulama ini. Jumlahnya tidak sedikit, ada yang berasal dari papua, jawa,
sulawesi, sumatra dan lain sebagainya.
Mengkaji kitab kuning di Pambusuang tidak didominasi oleh satu
orang ustadz/annangguru saja. Karena sistem di Pambusuang mengadopsi sistem
pengajian di Jawa, yakni murid mendatangi guru, alias mendatangi rumah-rumah
annangguru setempat. Di Pambusuang sendiri annangguru yang mengajarkan kitab
kuning sangatlah intesif di dalam mengajarkan santri-santrinya, berbagai
metode-metode pembelajaran selalu di berikan agar supaya santri-santrinya dapat
memahami dan menguasai ilmu-ilmu di dalam mempelajari kitab kuning seperti ilmu
shorof dan nahwu. banyak santri/siswa yang setelah belajar kitab kuning di kampung
para ulama ini menjuarai beberapa perlombaan seperti MQK (Musabaqah Qira’atul
Kutub). Rata-rata santri yang juara di dalam perlombaan MQK yakin dan pasti
dari alumni-alumni yg pernah belajar kitab kuning di Pambusuang. Seperti yang
kita ketahui Pambusuang merupakan suatu daerah dimana di pambusuang sendiri
terkenal dengan mayoritas annanggurunya. Menurut paradigma masyarakat atau
penduduk di Pambusuang bahwasanya ulama-ulama/annangguru yang dulu beda
dengan ulama-ulama yang sekarang. Perbedaannya, yaitu kalau annangguru yang
dulu lebih berfokus pada satu bidang, maksudnya ahli dalam satu bidang seperti
ahli dalam bidang balaghah, fiqih, nahwu, dan lain sebagainya. Jadi, otomatis
santri pada waktu itu ketika ingin mempelajari ilmu-ilmu tertentu harus mendatangi
rumah annangguru satu persatu. Kalau annangguru yang sekarang dapat dikatakan
sudah mampu menguasai ilmu-ilmu dalam berbagai bidang namun tidak sebagus dan
sebaik annangguru yang dulu.
Di kampung para ulama ini, yang dikenal dengan pengajian kitab
kuningnya sangatlah jauh berbeda dengan lembaga kursusan lainnya. Di kampung
ulama ini sangatlah terkesan sederhana namun proses belajar mengajarnya tidak
jauh beda dengan lembaga kursusan yang lainnya. Di Pambusuang sendiri kita
belajar bersama dengan santri-santri dari Pesantren Nuhiyah. Setiap harinya
santri-santri selalu berlomba-lomba datang ke rumah annangguru untuk belajar
kitab kuning walaupun kadang santri-santrinya harus menunggu lama sampai
annanggurunya keluar. Namun hal itu tidak membuat para santri-santri tersebut
berputus asa dan patah semangat. Kata santri yang belajar kitab di pambusuang,
dia beranggapan “yang penting saya bisa mendapat berkah dari seorang
annangguru”. Berbicara tentang pendekatan berkah di Pambusuang! Yang paling
menonjol disini yaitu tradisi cium tangan kepada annangguru setiap selesai
pengajian, tabah menunggu, dan kalau ada acara-acara membaca seperti massikkir
(berzikir), akikah, ma’barazanji (tradisi/kebudayaan masyarakat setempat),
kemudian tidak mau menempati tempatnya annangguru dan makan makanan yang sudah
dibaca oleh annangguru. Wallahu a’lam bissawab!
Kehiupan santri-santri di Pambusuan hampir sama dengan kehidupan
yang ada di pesantren lainnya. Hanya bedanya, disini kita di tuntut untuk lebih
mandiri. Selain kewajiban santri datang untuk menimba ilmu, santri-santri juga
berusaha untuk membuat suatu usaha/bekerja agar supaya ia bisa mendapat
penghasilan tambahan untuk dapat memenuhi keberlangsungan hidupnya sehari-hari.
Penduduk atau masyarakat yang ada di Pambusuang sangatlah jauh berbeda dengan
masyarakat yang ada di Jawa. Di Jawa sendiri hampir semua orang
berprilaku sopan dan bijak dalam berbicara (ramah). Jika dilihat penduduk atau
masyarakat yang ada di Pambusuang bisa di kata hampir dari penduduknya ada yang
dari kalangan preman, ustadz dan lain sebagainya dalam artian tidak menentu
namun santri-santri yang menuntut ilmu di Pambusuang sangatlah dihargai dan
dihormati, tidak sedikitpun orang-orang yang dari kalangan preman berani untuk
mengganggu santri-santri tersebut. Selain itu yang perlu kita garis bawahi
bersama dan patut untuk kita apresiasikan yaitu bahwasanya masyarakat
pambusuang selalu menggelar acara-acara dan mengundang annangguru untuk
mengadakan pengajian terbuka untuk semua masyarakat dari kalangan manapun.
Sungguh jasa-jasa dan pengorbanan seorang annangguru luar biasa.
Setiap harinya annangguru mengajarkan santri-santrinya dengan
ikhlas tanpa mengeluh dan meminta balas jasa darinya. Kita juga bisa mengambil
contoh dari seorang murid annangguru yang tiap harinya selalu belajar dan
bahkan yang di usianya yang tidak muda lagi ia masih tetap belajar kitab kuning
di Pambusuang. Beliau sering mengajarkan santri-santri dari berbagai daerah
yang datang ke Pambusuang. Ia biasanya diberikan amanah untuk mengajarkan
santri-santri tersebut jikalau annaggurunya berhalangan. Setiap harinya ia
terus berjalan kaki berkilo-kilometer demi melaksanakan amanah yang diberikan
oleh annanggurunya. Kita juga bisa melihat santri-santri dari Pesantren Nuhiyah
yang kemampuan dalam bidang keilmuaan kitab kuningnya sudah sangat luar biasa.
Mungkin kita tidak percaya santri yang masih berusia sangat muda baru menduduki
kelas 2 MTs, ia sudah mampu menguasai ilmu shorof dan nahwu bahkan ia juga
diberikan kepercayaan oleh annaggurunya untuk mengajarkan santri-santri yang
lainnya. Di Pambusuang sendiri sudah sangat terkenal dengan pengajian kitab
kuningnya namun yang sangat di sayangkan fasilitas-fasilitas seperti asrama, wc
dan lain sebagainya masih terbilang kurang dan tidak layak untuk dipakai.
Sungguh sangat di sayangkan jikalau di kampung para ulama ini tidak ada
perkembangan di dalam pembenahan fasilitas-fasilitas, yang mendukung aktivitas
kegiatan santri-santri. Padahal di Pambusuang sendiri telah banyak melahirkan
generasi muda yang berprestasi di dalam ajang perlombaan kitab kuning.
Pemerintah harus lebih meperhatikan daerah-daerah seperti di Pambusuang agar
supaya, kita sebagai generasi muda dapat menjadi pemimpin-pemimpin yang
berakhlatul karimah di masa yang akan datang.
Penulis : Zeed Hamdy Rukman