Sabtu, 07 Mei 2016

Pambusuang Kampungnya Para Ulama


Mungkin sebagian dari kita jarang mendengar nama daerah Pambusuang yang di juluki sebagai kampungnya para ulama. Kebanyakan dari kita lebih sering mengenal dan mendengar istilah kampung inggris di Pare Kediri Jawa Timur beda lagi dengan daerah yang satu ini. Pambusuang merupakan salah satu nama daerah yang ada di Sulawesi Barat. Disana merupakan tempat untuk belajar kitab kuning yang dikenal dengan istilah mattaleq kittaq. Mattaleq kittaq merupakan bahasa mandar yang asal sub katanya dari kata taleq  yang artinya menelaah. Secara bahasa pengertian mattaleq adalah proses menelaah dan mengkaji. Sedangkan menurut istilahnya mattaleq adalah suatu kegiatan menelaah dan mengkaji kitab kuning dengan pendekatan ilmu nahwu.

Tidak hanya itu, pengajiaan  kitab kuning/pengajian kittaq ternyata berkaitan dengan lahirnya pesantren yang ada di Pambusuang yaitu Pesantren Nuhiyah. Bentuk “Pengajian kittaq” masih bisa ditemukan berlangsung di Pambusuang, baik di beberapa rumah annangguru maupun pengajian-pengajian di malam tertentu di Masjid At-Taqwa. Bisa dikatakan bahwasannya tradisi keilmuaan mengkaji isi buku berasal dari tradisi ratusan tahun lalu lamanya yang hanya mengkaji buku-buku agama yang aksaranya aksara arab gundul (oleh karena itu biasa disebut juga “kittaq gondol” atau “kittaq kuning” sebab kertasnya kebanyakan kuning), kajian buku yang telah menjadi tradisi hanya ada di Pambusuang. Di Pambusuan sendiri santri atau siswa yang belajar disini tidak dikenakan biaya belajar/bimbingan sama sekali, cukup membawa bekal/persediaan makanan disana. Banyak orang yang bertanya-tanya kenapa di pambusuang dijuluki sebagai kampungnya para ulama? Karena di Pambusuang banyak para ulama-ulama (annangguru) yang mengajarkan kitab kuning bahkan disetiap lorong jalan pasti ada rumah annangguru. Kata penduduk didaerah sana, ia mengistilahkan lorong jalan itu sebagai loronna suruga (lorong surga). Di Pambusuang sendiri tidak dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas asrama pada umumnya. Disana hanya ada sebuah rumah kayu yang sangat sederhana yang diwakafkan oleh masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai tempat tinggal bagi santri-santri yang ingin menuntut ilmu di kampung para ulama tersebut. Banyak sekolah-sekolah agama khusunya pesantren dari berbagai daerah datang untuk menuntut ilmu di kampung para ulama ini. Jumlahnya tidak sedikit, ada yang berasal dari papua, jawa, sulawesi, sumatra dan lain sebagainya.

Mengkaji kitab kuning di Pambusuang tidak didominasi oleh satu orang ustadz/annangguru saja. Karena sistem di Pambusuang mengadopsi sistem pengajian di Jawa, yakni murid mendatangi guru, alias mendatangi rumah-rumah annangguru setempat. Di Pambusuang sendiri annangguru yang mengajarkan kitab kuning sangatlah intesif di dalam mengajarkan santri-santrinya, berbagai metode-metode pembelajaran selalu di berikan agar supaya santri-santrinya dapat memahami dan menguasai ilmu-ilmu di dalam mempelajari kitab kuning seperti ilmu shorof dan nahwu. banyak santri/siswa yang setelah belajar kitab kuning di kampung para ulama ini menjuarai beberapa perlombaan seperti MQK (Musabaqah Qira’atul Kutub). Rata-rata santri yang juara di dalam perlombaan MQK yakin dan pasti dari alumni-alumni yg pernah belajar kitab kuning di Pambusuang. Seperti yang kita ketahui Pambusuang merupakan suatu daerah dimana di pambusuang sendiri terkenal dengan mayoritas annanggurunya. Menurut paradigma masyarakat atau penduduk di Pambusuang bahwasanya ulama-ulama/annangguru  yang dulu beda dengan ulama-ulama yang sekarang. Perbedaannya, yaitu kalau annangguru yang dulu lebih berfokus pada satu bidang, maksudnya ahli dalam satu bidang seperti ahli dalam bidang balaghah, fiqih, nahwu, dan lain sebagainya. Jadi, otomatis santri pada waktu itu ketika ingin mempelajari ilmu-ilmu tertentu harus mendatangi rumah annangguru satu persatu. Kalau annangguru yang sekarang dapat dikatakan sudah mampu menguasai ilmu-ilmu dalam berbagai bidang namun tidak sebagus dan sebaik annangguru yang dulu.

Di kampung para ulama ini, yang dikenal dengan pengajian kitab kuningnya sangatlah jauh berbeda dengan lembaga kursusan lainnya. Di kampung ulama ini sangatlah terkesan sederhana namun proses belajar mengajarnya tidak jauh beda dengan lembaga kursusan yang lainnya. Di Pambusuang sendiri kita belajar bersama dengan santri-santri dari Pesantren Nuhiyah. Setiap harinya santri-santri selalu berlomba-lomba datang ke rumah annangguru untuk belajar kitab kuning walaupun kadang santri-santrinya harus menunggu lama sampai annanggurunya keluar. Namun hal itu tidak membuat para santri-santri tersebut berputus asa dan patah semangat. Kata santri yang belajar kitab di pambusuang, dia beranggapan  “yang penting saya bisa mendapat berkah dari seorang annangguru”. Berbicara tentang pendekatan berkah di Pambusuang! Yang paling menonjol disini yaitu tradisi cium tangan kepada annangguru setiap selesai pengajian, tabah menunggu, dan kalau ada acara-acara membaca seperti massikkir (berzikir), akikah, ma’barazanji (tradisi/kebudayaan masyarakat setempat), kemudian tidak mau menempati tempatnya annangguru dan makan makanan yang sudah dibaca oleh annangguru. Wallahu a’lam bissawab!

Kehiupan santri-santri di Pambusuan hampir sama dengan kehidupan yang ada di pesantren lainnya. Hanya bedanya, disini kita di tuntut untuk lebih mandiri. Selain kewajiban santri datang untuk menimba ilmu, santri-santri juga berusaha untuk membuat suatu usaha/bekerja agar supaya ia bisa mendapat penghasilan tambahan untuk dapat memenuhi keberlangsungan hidupnya sehari-hari. Penduduk atau masyarakat yang ada di Pambusuang sangatlah jauh berbeda dengan masyarakat yang ada di Jawa.  Di Jawa sendiri hampir semua orang berprilaku sopan dan bijak dalam berbicara (ramah). Jika dilihat penduduk atau masyarakat yang ada di Pambusuang bisa di kata hampir dari penduduknya ada yang dari kalangan preman, ustadz dan lain sebagainya dalam artian tidak menentu namun santri-santri yang menuntut ilmu di Pambusuang sangatlah dihargai dan dihormati, tidak sedikitpun orang-orang yang dari kalangan preman berani untuk mengganggu santri-santri tersebut. Selain itu yang perlu kita garis bawahi bersama dan patut untuk kita apresiasikan yaitu bahwasanya masyarakat pambusuang selalu menggelar acara-acara dan mengundang annangguru untuk mengadakan pengajian terbuka untuk semua masyarakat dari kalangan manapun. Sungguh jasa-jasa dan pengorbanan seorang annangguru luar biasa.

Setiap harinya annangguru mengajarkan santri-santrinya dengan ikhlas tanpa mengeluh dan meminta balas jasa darinya. Kita juga bisa mengambil contoh dari seorang murid annangguru yang tiap harinya selalu belajar dan bahkan yang di usianya yang tidak muda lagi ia masih tetap belajar kitab kuning di Pambusuang. Beliau sering mengajarkan santri-santri dari berbagai daerah yang datang ke Pambusuang. Ia biasanya diberikan amanah untuk mengajarkan santri-santri tersebut jikalau annaggurunya berhalangan. Setiap harinya ia terus berjalan kaki berkilo-kilometer demi melaksanakan amanah yang diberikan oleh annanggurunya. Kita juga bisa melihat santri-santri dari Pesantren Nuhiyah yang kemampuan dalam bidang keilmuaan kitab kuningnya sudah sangat luar biasa. Mungkin kita tidak percaya santri yang masih berusia sangat muda baru menduduki kelas 2 MTs, ia sudah mampu menguasai ilmu shorof dan nahwu bahkan ia juga diberikan kepercayaan oleh annaggurunya untuk mengajarkan santri-santri yang lainnya. Di Pambusuang sendiri sudah sangat terkenal dengan pengajian kitab kuningnya namun yang sangat di sayangkan fasilitas-fasilitas seperti asrama, wc dan lain sebagainya masih terbilang kurang dan tidak layak untuk dipakai. Sungguh sangat di sayangkan jikalau di kampung para ulama ini tidak ada perkembangan di dalam pembenahan fasilitas-fasilitas, yang mendukung aktivitas kegiatan santri-santri. Padahal di Pambusuang sendiri telah banyak melahirkan generasi muda yang berprestasi di dalam ajang perlombaan kitab kuning. Pemerintah harus lebih meperhatikan daerah-daerah seperti di Pambusuang agar supaya, kita sebagai generasi muda dapat menjadi pemimpin-pemimpin yang berakhlatul karimah di masa yang akan datang.

Penulis : Zeed Hamdy Rukman

Share:
Diberdayakan oleh Blogger.