“ Sebuah perjalanan seribu mil harus dimulai dengan
satu langkah.”
Inilah sebuah
kata-kata motivasi yang cocok untuk seorang Ismail Fajrie Alatas kelahiran
Semarang, 18 September 1983, bahwasanya setiap perjalanan yang kita tempuh
pasti diawali dengan langkah kecil atau usaha kecil untuk selalu mencoba dan
mencoba mencapai suatu hal yang kita impikan. Beliau berhasil mancatatkan
namanya sebagai orang indonesia yang sukses dan berhasil menempuh pendidikannya
di luar negeri yang hanya mengandalkan beasiswa.
Beliau menyelesaikan
studinya di Sekolah Menengah Pertama Al-Ikhlas, Jakarta dan melanjutkan
studinya di luar negeri pada tahun 1999 - 2001 Sekolah Menengah Atas Khalid
Islamic College of Victoria, Australia lulus dengan Baccalaureate Diploma
Internasional, 2002 - 2005 Bachelor of Arts dengan Honours
(kelas), jurusan sejarah
Universitas Melbourne, Australia. 2006 - 2008 Masters
of Arts (Sejarah), National University of Singapore. 2008 - PhD hadir
(Antropologi & Sejarah), University of Michigan, Amerika Serikat.
Berbagai
prestasi telah banyak dicapai oleh beliau baik itu dari naional maupun dari
kanca internasional salah satu diantaranya Sertifikat
Prestasi di Orasi, diberikan oleh Raja Khalid Islamic College of Victoria,
Australia, Sertifikat Penghargaan di Pengakuan Voluntary Service ke Masyarakat,
diberikan oleh Pemerintah Negara Bagian Victoria, Australia, Albert D. Moscotti
Best Paper Award, diberikan oleh Pusat Studi Asia Tenggara,
Universitas Michigan, International
Institute Individu Fellowship, diberikan oleh Institute International, University of Michigan, dan masih
banyak lagi penghargaan dan pencapaian beliau selama menempuh pendidikannya.
Ismail Fajrie Alatas
merupakan seorang humanis dan juga seorang habib yang dikenal dengan pemikiran
intelektualnya yang menggabungkan antara sisi antropologi dengan agama. Tidak
hanya itu, beliau juga merupakan kandidat doktor dari University of Michigan
yang dalam kesehariannya dikenal sebagai orang yang santun dengan pola pikir
majunya. Beliau pernah ditanya tentang tanggapannya mengenai keberadaan islam
masa kini, beliau beranggapan bahwasanya islam kini berubah menjadi agama yang
kaku dan rentang akan konflik yang disebabkan oleh pola tekstualitas yang
dilakukan oleh banyak kalangan muslim dalam memahami Islam.
Dengan mengutip
Al-Ghozali, pria yang akrab disapa Adjie ini memaparkan bahwa pada hakikatnya
agama Islam merupakan agama yang bersumber pada hati dimana kelembutan,
toleransi, keindahan, fleksibilitas, dan elastisitas terbentuk. Begitupun juga
dengan Islam bahwasanya islam itu disampaikan dengan kelembutan yang serupa.
Jika penyebaran agama Islam nyatanya disampaikan dengan pola pikir reaktif yang
nilai-nilainya hanya bersumber dari akal, maka hal itulah yang menyebabkan
adanya radikalisme di kalangan masyarakat, terlebih itu Islam.
Beliau juga banyak
terinspirasi dan kagum akan sosok seseorang yaitu salah satu diantaranya Habib
Mundzir bin Fuad Al-Musawa. Habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa merupakan salah
satu dari 40 murid Habib Umar bin Hafidz yang merupakan ulama yang dikenal
dengan kepawaiannya dalam ilmu dan retorika. Habib Mundzir bukanlah merupakan
anak ulama, ia tidak memiliki pesantren dan tidak memiliki tempat bernaung.
Namun beberapa tahun pertama Habib Alawi Al-Aydrus memintanya untuk mengasuh
majelis taklim di Cipayung. Namun sepertinya tetap ada kegelisahan di dalam
diri Habib Mundzir. Ia sepertinya tidak memiliki tempat untuk berkiprah.
Tempat-tempat
prestisius dalam gerakan dan intitusi dakwah telah diisi oleh anggota keluarga
masing-masing. Seorang habib tanpa trah keulamaan yang kuat seperti dirinya
seakan disisihkan oleh mereka yang telah memiliki tempat yang kokoh. Realitas
demikian banyak terjadi di Indonesia. Seorang yang cerdas kembali ke tanah air
dan tak mendapatkan tempat. Namun justru realita dakwah demikian, dengan
mafia-mafia dakwahnya, membentuk figur Habib Mundzir yang siap mendobrak
tatanan dakwah di Jakarta.
Akhirnya Habib Mundzir
meninggalkan Cipayung dan mulai mengejar dari rumah ke rumah di kawasan Pasar
Minggu Kalibata, Jakarta Selatan. Beliau membangun majelis kecil-kecilan tanpa
tempat. Berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lainnya. Dan akhirnya sebuah
Masjid Pancoran membuka pintunya untuk majelis Habib Mandzir. Maka terbentuklah
Majelis Rasulullah. Sesuatu yang dikerjakan serius dan telaten, akhirnya
membuahkan hasil. Lambat laun jamaah beliau tambah banyak.
Bagi habib Mundzir
sepertinya dakwah harus menjemput bola. Ulama harus proaktif mengikuti
perkembangan zaman dan perubahan masa. Beliau bercerita pada saya bagaimana
beliau rela mengikuti kritikan sebagian pengikutnya, agar mereka masih mau
tetap belajar. Pada figur Habib Mundzir kita menemukan seorang da’i yang siap
menuruti kehendak ummatnya selama itu baik, ketimbang selalu minta diikuti.
Pada akhirnya, Habib
Mundzir mengajarkan pada kita bahwa dakwah bukanlah milik segelintir individu
mapan. Dakwah adalah proyek bersama. Kita semua harus berdakwah, bukan hanya
anak-anak para ulama dan pembesar agama. Anak-anak muda yang tidak dari
kalangan pesantren juga turut serta. Anak muda ibu kota, kaya-miskin,
terdidik-tidak terdidik, semua dapat ikut serta menjaga panji Rasul Saw. Habib
Mundzir mengajarkan kepada kita bahwa mengikuti Sang Kekasih Saw. Tidak berarti
kita harus bersikap keras dan intoleran. Justru dengan lemah lembut, santun dan
budi pekerti yang baik, kita dapat menjadi duta-duta Sang Kekasih Saw. Untuk
ummat manusia.
Selain itu Ismail
Fajrie Alantas juga terisnpirasi dengan sebuah photo seorang pedagang
buah-buahan yang mana tulisan di gerobak daganganya tertulis “Kayfa akhofu
faqr wa ana abd Al-Ghany”, “Bagaimana aku akan takut dengan kemiskinan,
sedang aku adalah hambah dari Yang Maha Kaya”. Beliaupun terharu ketika
mendapat photo ini. Dan beliaupun mengabadikannya sebagai pengingat diri yang
penuh dengan kelemahan. Semoga kelak, bisa lepas sama sekali dari segala
ketakutan. Karena Dia yang Maha Segala, sejatinya senantiasa bersemayam di
hati.
Penulis : Zeed Hamdy
Rukman