Minggu, 05 Juni 2016

Ismail Fajrie Alatas


Ismail Fajrie Alatas

 “ A journey of a thousand miles must begin with a single step.”
“ Sebuah perjalanan seribu mil harus dimulai dengan satu langkah.”

Inilah sebuah kata-kata motivasi yang cocok untuk seorang Ismail Fajrie Alatas kelahiran Semarang, 18 September 1983, bahwasanya setiap perjalanan yang kita tempuh pasti diawali dengan langkah kecil atau usaha kecil untuk selalu mencoba dan mencoba mencapai suatu hal yang kita impikan. Beliau berhasil mancatatkan namanya sebagai orang indonesia yang sukses dan berhasil menempuh pendidikannya di luar negeri yang hanya mengandalkan beasiswa.  

Beliau menyelesaikan studinya di Sekolah Menengah Pertama Al-Ikhlas, Jakarta dan melanjutkan studinya di luar negeri pada tahun 1999 - 2001 Sekolah Menengah Atas Khalid Islamic College of Victoria, Australia lulus dengan Baccalaureate Diploma Internasional, 2002 - 2005 Bachelor of Arts dengan Honours (kelas), jurusan sejarah Universitas Melbourne, Australia. 2006 - 2008 Masters of Arts (Sejarah), National University of Singapore. 2008 - PhD hadir (Antropologi & Sejarah), University of Michigan, Amerika Serikat.

Berbagai prestasi telah banyak dicapai oleh beliau baik itu dari naional maupun dari kanca internasional salah satu diantaranya Sertifikat Prestasi di Orasi, diberikan oleh Raja Khalid Islamic College of Victoria, Australia, Sertifikat Penghargaan di Pengakuan Voluntary Service ke Masyarakat, diberikan oleh Pemerintah Negara Bagian Victoria, Australia, Albert D. Moscotti Best Paper Award, diberikan oleh Pusat Studi Asia Tenggara, Universitas Michigan, International Institute Individu Fellowship, diberikan oleh Institute International, University of Michigan, dan masih banyak lagi penghargaan dan pencapaian beliau selama menempuh pendidikannya.

Ismail Fajrie Alatas merupakan seorang humanis dan juga seorang habib yang dikenal dengan pemikiran intelektualnya yang menggabungkan antara sisi antropologi dengan agama. Tidak hanya itu, beliau juga merupakan kandidat doktor dari University of Michigan yang dalam kesehariannya dikenal sebagai orang yang santun dengan pola pikir majunya. Beliau pernah ditanya tentang tanggapannya mengenai keberadaan islam masa kini, beliau beranggapan bahwasanya islam kini berubah menjadi agama yang kaku dan rentang akan konflik yang disebabkan oleh pola tekstualitas yang dilakukan oleh banyak kalangan muslim dalam memahami Islam.

Dengan mengutip Al-Ghozali, pria yang akrab disapa Adjie ini memaparkan bahwa pada hakikatnya agama Islam merupakan agama yang bersumber pada hati dimana kelembutan, toleransi, keindahan, fleksibilitas, dan elastisitas terbentuk. Begitupun juga dengan Islam bahwasanya islam itu disampaikan dengan kelembutan yang serupa. Jika penyebaran agama Islam nyatanya disampaikan dengan pola pikir reaktif yang nilai-nilainya hanya bersumber dari akal, maka hal itulah yang menyebabkan adanya radikalisme di kalangan masyarakat, terlebih itu Islam.

Beliau juga banyak terinspirasi dan kagum akan sosok seseorang yaitu salah satu diantaranya Habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa. Habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa merupakan salah satu dari 40 murid Habib Umar bin Hafidz yang merupakan ulama yang dikenal dengan kepawaiannya dalam ilmu dan retorika. Habib Mundzir bukanlah merupakan anak ulama, ia tidak memiliki pesantren dan tidak memiliki tempat bernaung. Namun beberapa tahun pertama Habib Alawi Al-Aydrus memintanya untuk mengasuh majelis taklim di Cipayung. Namun sepertinya tetap ada kegelisahan di dalam diri Habib Mundzir. Ia sepertinya tidak memiliki tempat untuk berkiprah.

Tempat-tempat prestisius dalam gerakan dan intitusi dakwah telah diisi oleh anggota keluarga masing-masing. Seorang habib tanpa trah keulamaan yang kuat seperti dirinya seakan disisihkan oleh mereka yang telah memiliki tempat yang kokoh. Realitas demikian banyak terjadi di Indonesia. Seorang yang cerdas kembali ke tanah air dan tak mendapatkan tempat. Namun justru realita dakwah demikian, dengan mafia-mafia dakwahnya, membentuk figur Habib Mundzir yang siap mendobrak tatanan dakwah di Jakarta.

Akhirnya Habib Mundzir meninggalkan Cipayung dan mulai mengejar dari rumah ke rumah di kawasan Pasar Minggu Kalibata, Jakarta Selatan. Beliau membangun majelis kecil-kecilan tanpa tempat. Berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lainnya. Dan akhirnya sebuah Masjid Pancoran membuka pintunya untuk majelis Habib Mandzir. Maka terbentuklah Majelis Rasulullah. Sesuatu yang dikerjakan serius dan telaten, akhirnya membuahkan hasil. Lambat laun jamaah beliau tambah banyak.

Bagi habib Mundzir sepertinya dakwah harus menjemput bola. Ulama harus proaktif mengikuti perkembangan zaman dan perubahan masa. Beliau bercerita pada saya bagaimana beliau rela mengikuti kritikan sebagian pengikutnya, agar mereka masih mau tetap belajar. Pada figur Habib Mundzir kita menemukan seorang da’i yang siap menuruti kehendak ummatnya selama itu baik, ketimbang selalu minta diikuti.

Pada akhirnya, Habib Mundzir mengajarkan pada kita bahwa dakwah bukanlah milik segelintir individu mapan. Dakwah adalah proyek bersama. Kita semua harus berdakwah, bukan hanya anak-anak para ulama dan pembesar agama. Anak-anak muda yang tidak dari kalangan pesantren juga turut serta. Anak muda ibu kota, kaya-miskin, terdidik-tidak terdidik, semua dapat ikut serta menjaga panji Rasul Saw. Habib Mundzir mengajarkan kepada kita bahwa mengikuti Sang Kekasih Saw. Tidak berarti kita harus bersikap keras dan intoleran. Justru dengan lemah lembut, santun dan budi pekerti yang baik, kita dapat menjadi duta-duta Sang Kekasih Saw. Untuk ummat manusia.

Selain itu Ismail Fajrie Alantas juga terisnpirasi dengan sebuah photo seorang pedagang buah-buahan yang mana tulisan di gerobak daganganya tertulis “Kayfa akhofu faqr wa ana abd Al-Ghany”, “Bagaimana aku akan takut dengan kemiskinan, sedang aku adalah hambah dari Yang Maha Kaya”. Beliaupun terharu ketika mendapat photo ini. Dan beliaupun mengabadikannya sebagai pengingat diri yang penuh dengan kelemahan. Semoga kelak, bisa lepas sama sekali dari segala ketakutan. Karena Dia yang Maha Segala, sejatinya senantiasa bersemayam di hati.

Penulis : Zeed Hamdy Rukman
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.