Generasi Bisu Menuju Generasi Aktif |
Guru mengajar, murid diajar. Guru mengetahui segalanya murid tidak tahu apa-apa, guru berpikir murid dipikir, guru ceramah murid mendengarkan, guru mengatur murid diatur, guru memilih dan melaksanakan pilihannya sedangkan murid hanya menuruti saja.
Dari pernyataan di atas, seakan-akan dalam
pendidikan muridlah yang menjadi objek dan guru adalah subjeknya. Murid
dianggap seperti benda mati, dapat dipindah ke sana ke mari. Itulah yang dikatakan
Gaya Banking dalam mengajar. Menurut Paulo Freire, konsep pendidikan Gaya
banking hanya menghasilkan budaya bisu yang berujung pada kebodohan dan
ketertindasan. Karena murid kehilangan kemampuannya untuk mengemukakan
pendapatnya dan juga kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensinya.
Banking dalam bahasa indonesia berarti
menabung, jadi konsep Gaya banking adalah pendidikan layaknya proses menabung,
dimana sang guru sebagai nasabahnya, sedangkan murid adalah pihak bank yang
menerima tabungan ilmu dari sang guru. Guru menabung atau menyimpan sejumlah
pengetahuan dengan cara menyampaikan suatu konsep dan kemudian siswa
mengulanginya dengan patuh dan tunduk. Guru bisa mengambil hasil tabungan
pengetahuannya ketika di akhir semester. Murid diharapkan bisa mengerjakan soal
ujian sesuai dengan apa yang guru sampaikan.
Praktik pendidikan gaya banking menggunakan
tujuan-tujuan pembelajaran yang sangan mekanistis dan kaku, sehingga hilanglah
sisi humanistik dari pendidikan. Tidak memberi kesempatan kepada murid untuk
berbicara mengemukakan pendapatnya, tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan
potensinya. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep pendidikan gaya
banking ini merupakan praktik dehumanisasi, karena mengekang humanitas manusia
dengan praktik pendidikan yang kaku dan monoton.
Pada zaman sekarang, banyak siswa atau bahkan
mahasiswa yang telah terjangkit penyakit nekrofili. Nekrofili adalah
gejala psikologis yang membuat si penderitanya tidak menyukai kemajuan, cara
hidupnya mekanis, bergantung pada takdir, bukannya merancang kehidupan tetapi
malah larut dalam kehidupan. Belajar bagi penderita nekrofili adalah menghafal,
belajar bertujuan untuk menyelesaikan tes atau soal-soal ujian guna mencapai
nilai yang tinggi. Padahalnya, output dari proses pendidikan yang real adalah
kedewasaan. Dapat mengimplementasikan ilmu-ilmu yang didapatkan di
kehidupannya.
Konsep pendidikan gaya banking yang menghasil
generasi bisu, bodoh, dan fatalisme atau takluk terhadap takdir, dapat
diberantas melalui gaya pendidikan yang transformatif. Transformatif adalah
konsep pendidikan yang anti dehumanisasi. Memanusiakan manusia adalah misi dari
konsep pendidikan transformatif. Memberi kesempatan murid untuk selalu
mengemukakan pendapatnya, memberi kesempatan untuk terus mengembangkan
potensinya.
PAKEM atau pembelajaran aktif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan juga dapat dilakukan untuk menanggulangi adanya
praktik gaya banking pembentuk generasi bisu, bodoh, dan fatalisme. Seperti
yang tercantum pada PP. No. 19 Tahun 2005 bahwa: “Pakem adalah proses
pembelajaran yang harus diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, memberi ruang yang cukup bagi pengembangan prakarsa, kreativitas
sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik, serta psikologis siswa.” (Hamid,
2010:87).
Jadi, seorang guru harus memiliki strategi
pengajaran yang beraneka-ragam. Yang dapat menarik murid untuk selalu aktif di dalam
kelas. Seperti permainan, kuis, praktek, penelitian dan lain sebagainya yang dapat
disalurkan kepada murid ketika proses belajar mengajar berlangsung. Sehingga dengan
begitu, aspek-aspek kepribadian seperti fisik, motorik, kognitif, afektif,
bahasa, sosial, spiritual, dan moral anak akan terangsang oleh
stimulus-stimulus positif yang diberikan oleh sang guru, sehingga berkembanglah
aspek-aspek kepribadian tersebut.
Penulis :
Dewi Indah Dahlia
Editor
: Zeed Hamdy Rukman