Senin, 08 Agustus 2016

Lima Tesis Relasi Agama dan Sains

Religion and Science


Tak dapat dimungkiri bahwa dalam kehidupan umat manusia saat ini, sains memegang peranan penting. Keberadaan sains menjadi dasar kemajuan teknologi yang semakin memudahkan kehidupan manusia. Satu sisi, peran agama semakin melemah seiring menguatnya peran sains.


Orang beragama memakai kitab suci mereka untuk mengklaim beragam kebenaran berdasarkan kepercayaan bahwa kitab suci mereka, yang memberitakan beragam kebenaran itu, adalah wahyu Ilahi, bukan berdasarkan bukti-bukti objektif. Kebenaran imaniah (berdasarkan kepercayaan) ini diyakini benar, absah dan berlaku mutlak dan dipercaya tak bisa salah karena dianggap datang sebagai wahyu dari Allah (Tuhan) yang tidak mungkin salah.


Menurut agamawan, tak perlu ada pembuktian atas semua kepercayaan keagamaan. Sebab kebenaran sudah dijamin oleh Allah sendiri yang memberi wahyu. Namun sikap seperti ini menimbulkan pertanyaan: berhubung setiap agama apapun adalah sebuah sistem kepercayaan yang dibangun oleh manusia sendiri tentang wahyu Ilahi, apakah sudah pasti keyakinan ini benar dan sesuai dengan wahyu Ilahi?


Dalam dunia sains atau ilmu pengetahuan, suatu klaim saintifik hanya diterima benar atau absah jika ada bukiti-bukti empiris yang mendukungnya. Sains dibangun berdasarkan fakta-fakta.


Seiring berjalannya waktu, bukti-bukti dan fakta-fakta baru senantiasa ditemukan, atau fenomena alam bisa sudah lebih banyak dikuak, dan posisi-posisi saintifik lama bisa tidak sinkron lagi dengan bukti-bukti baru, maka suatu posisi teoretis saintifik dengan sendirinya selalu terbuka untuk dievaluasi ulang.


Hal ini bisa menimbulkan perubahan besar yang terjadi pada pandangan-pandangan sainstifik yang relatif sudah kokoh. Sejalan dengan itu, sains tak bisa diabsolutkan (dimutlakkan), meskipun tentu saja ada berbagai posisi saintifik yang sudah teruji dan kokoh sebagai teori-teori besar.


Secara umum, ringkas, dan serampangan, ada lima posisi yang dapat diambil kalau agama mau ditempatkan dalam hubungannya dengan sains. Lalu posisi apa saja yang secara umum bisa menggambarkan relasi agama dan sains?


Semacam kasih Tanpa Sampai

Agama dan sains dipandang menempati wilayah masing-masing yang otonom dan tak bisa dipertemukan, terpisah satu sama lain selamanya, dan tidak bertumpang tindih. Dalam posisi ini, agama condong terdorong untuk menggeluti hanya soal-soal moral, ritual, dan kehidupan individual umat yang tidak bersentuhan sama sekali dengan sains yang terus berkembang.


Adaptasi Demi Mesra Bersama

Agama tunduk dan menyesuaikan diri sepenuhnya pada sains dengan akibat agama kehilangan autentitas dan eksistensinya, ditinggalkan, dan hal-hal yang semula dijawab dan disediakan agama, dijawab kemudian dan disediakan oleh sains. Dalam posisi ini, agama masih ada, namun sudah bertransformasi menjadi agama naturalis dengan membuang dimensi-dimensi supranaturalnya.


Ogah Kalah

Agama diklaim lebih unggul dibandingkan sains, dan mengendalikan atau membinasakan sains. Dalam posisi ini, wahyu dan iman dipandang lebih tinggi dari, dan tak bisa digantikan oleh, sains.


Seperti Sedang PDKT

Dalam posisi ini dianggap ada sejumlah kaitan antara agama dan sains. Kaitan tersebut adalah tujuan-tujuan besar dan esensial baik dari agama maupun dari sains sehubungan dengan kehidupan, manusia, masa depan, peradaban, dan jagat raya. Dengan posisi seperti ini, dipandang memungkinkan jika agama dan sains terlibat dialog yang tak pernah usai di sekitar tema-tema yang pararel ini. Kedua belah pihak berharap lewat dialog ini satu sama lain akan memperkaya. Melalui dialog juga kebenaran-kebenaran moral yang lebih besar dan lebih penuh diharapkan akan didapat.


Persis Putus Pacaran

Agama dan sains dipandang dan diperlakukan selalu ada dalam hubungan tegang penuh konflik yang tak akan bisa didamaikan atau diselesaikan. Agama dan sains dipandang berperang terus-menerus. Keduanya mengambil sikap antaogistik satu sama lain. Posisi ini tampak “dibenarkan” oleh perbedaan mendasar antara watak agama dan watak sains yang satu sama lain berkonflik dan tidak bisa dipertemukan.


Para agamawan yang tidak konservatif, pada umumnya akan mengambil posisi yang keempat, seperti sedang PDKT. Jika ini memang posisi mereka, dari mereka diperlukan usaha keras untuk bisa memanfaatkan perkembangan sains dengan kreatif bagi tujuan-tujuan dialog sehingga mereka bisa berdawakwah dengan baik.


Kita semua, sebagai manusia ciptaan Allah, tak boleh merasa lelah, tidak boleh dogmatis, dan tidak boleh mengklaim telah tiba pada kebenaran paling akhir dan paling penuh. Kita bersama-sama berjalan, menempuh ziarah yang tak pernah selesai, kendati cara berjalan yang masing-masing ditempuh berbeda-beda. Akan selalu ada kawasan yang dipegang dan diyakini, dalam agama-agama, begitu juga dalam sains. “kebenaran hari ini bukanlah berarti kebenaran esok hari,” kata DEWA19.


B.Ah.Wg.031149.37.060816.18:30

Share:

Senin, 01 Agustus 2016

Pendidikan dan Sekolah


Pendidikan dan Sekolah

Jika pendidikan adalah rumah, maka sekolah adalah kamar. Jika pendidikan adalah kepulauan, maka sekolah adalah pulau. Pada intinya sekolah adalah salah satu dari sekian banyak sarana pendidikan. Ini yang tidak disadari dan dipahami oleh para orang tua, yang alhamdulillah nyak-babeku bukan termasuk di dalamnya.

Pendidikan disempitkan pada sekolah, lucu banget deh. Bagiku orang tidak harus sekolah namun harus berpendidikan. Namun banyak orang tua berpikir, apabila anaknya sudah sekolah berarti anaknya sudah bisa dikatakan berpendidikan. Semakin tinggi jenjang sekolah yang dicapai, semakin tinggi pula pendidikan anaknya, menurut orang tua yang menyempitkan makna pendidikan pada sekolah. Akibatnya orang tua cukup bangga kalau anaknya sudah sarjana.

Gara-gara pola pikir semacam itu. Indonesia gak maju-maju. Gak pernah naik kelas menjadi negara dunia ke-2, apalagi kelas satu, apalagi juara. Ini terjadi karena kita hanya memiliki jutaan sarjana yang tidak tahu menahu mau melakukan apa untuk kemajuan dirinya sendiri minimal, atau bangsanya.

Mereka yang menyempitkan makna pendidikan hanya mau anak-anaknya mendapatkan prestasi di sekolahnya, meskipun itu didapat dengan cukup rajin ke sekolah dan giat belajar tanpa pernah bersosial dan berkarya.

Pemerintah kita tidak pernah membuat program bagaimana supaya generasi muda dirangsang untuk menjadi kreatif dan inovatif. Padahal kunci semua kesuksesan adalah kreatifitas dan rasa tak pernah takut berkreasi.

Saat seseorang mencoba kreatif dan berani berkreasi, dia akan sukses menjadi apa saja. Sukses menjadi penulis, seniman, musisi, dan lain-lain.

Tetapi sebaliknya, jika ruang kreatifitas dibatasi, tunggu saja ajal kehancuran bangsa ini. Mau lihat?

*obrolan bersama pengamen di angkot Kalapa-Ledeng

Cempaka106.Sl.Pn.220434.040313.14:4

 

Share:
Diberdayakan oleh Blogger.