Senin, 27 Februari 2017
Jumat, 24 Februari 2017
Kasih Sayang Rasulullah Melebihi Kasih Sayang Umatnya
Sumber : Pixabay.com |
Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah yang merupakan
sosok pemimpin penuh cinta dan kasih sayang. Satu hal yang patut disyukuri umat
muslim, bahwa mereka memiliki seorang imam yang sangat mulia dan senantiasa
mencintai mereka tanpa ada batasnya. Serupa dengan hal tersebut “Sesungguhnya Muhammad adalah seorang yang
cerdas, sangat agamis, dan sosok manusia paling penyayang yang dikenal oleh
sejarah.” (Edward Monte;
orientalis dan filsuf Perancis, Rektor Universitas Geneva).
Dalam beberapa riwayat
telah dijelaskan bahwa tak ada manusia yang lebih mencintai manusia lainnya kecuali
Rasulullah Saw. Bahkan, kasih sayang beliau kepada umatnya melebihi kasih
sayang orangtua kandung kepada anaknya sendiri. Bahkan, ketika beliau di
ujung ajalnya, sebanyak tiga kali beliau berujar syahdu nan sendu, “Umatku,
umatku, umatku.” Dalam firman Allah telah dijelaskan betapa besar kasih sayang
dan pengorbanan beliau untuk umatnya. Kasih sayang itu, bahkan menjadi sifat
Rasulullah SAW:
قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ
مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu
sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang
mukmin” (QS. At-Taubat :
128).
Menurut Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi
Zhilalil Qur’an mengatakan, “Allah tidak mengatakan rasul dari kalian tetapi
mengatakan dari kaummu sendiri”. Ungkapan ini lebih sensitif, lebih
dalam hubungannya dan lebih menunjukkan ikatan yang mengaitkan mereka. Karena
beliau adalah bagian dari diri mereka, yang bersambung dengan mereka dengan
hubungan jiwa dengan jiwa, sehingga hubungan ini lebih dalam dan lebih
sensitif.”
Sedangkan menurut Ibnu Katsir
dalam Tafsir Qur’anil Adzim berkata, “Allah SWT menyebutkan
limpahan nikmat yang telah diberikan-Nya kepada orang-orang mukmin melalui
seorang rasul yang diutus oleh-Nya dari kalangan mereka sendiri, yakni dari
bangsa mereka dan sebahasa dengan mereka.”
Diantara kasih sayang dan pengorbanan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tiga hal berikut:
1. Selalu Menginginkan Keselamatan dan Kebaikan bagi Umatnya
Rasulullah
senantiasa menginginkan keselamatan dan kebaikan bagi umatnya, meskipun pada
saat itu mereka masih menentang dakwah Rasulullah. Bahkan memusuhi dan
menyakiti hati Sang Nabi. Rasulullah tidak ingin umatnya diadzab Allah,
meskipun malaikat telah datang menawarkan bantuan, seakan malaikat itu sudah
tidak sabar dengan penderitaan Muhammad akibat permusuhan kaum/kabilah
tertentu.
2.
Memberi Syafaat bagi
Umatnya
Inilah kasih
sayang dan pengorbanan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang kedua,
yang tidak dimiliki oleh para nabi sebelumnya. Yakni syafaat untuk umat. Sebenarnya,
setiap Nabi diberikan doa mustajab oleh Allah. Namun, nabi-nabi sebelumnya
telah menggunakan doa tersebut, sebagiannya sebagai senjata pamungkas untuk
menghancurkan orang-orang kafir dengan adzab Allah. Adapun Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau menyimpan doa tersebut sebagai syafaat
bagi umatnya, kelak di hari hisab. Rasulullah bersabda:
لِكُلِّ نَبِىٍّ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ فَتَعَجَّلَ كُلُّ
نَبِىٍّ دَعْوَتَهُ وَإِنِّى اخْتَبَأْتُ دَعْوَتِى شَفَاعَةً لأُمَّتِى يَوْمَ
الْقِيَامَةِ فَهِىَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِى لاَ
يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا
“Setiap Nabi memiliki doa yang
mustajab, maka setiap nabi menyegerakan doanya. Dan sesungguhnya aku
menyembunyikan doaku sebagai syafa’at bagi umatku pada hari kiamat. Dan insya
Allah syafa’atku untuk setiap orang yang mati dari kalangan umatku dalam keadaan
tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun” (HR. Muslim).
3.
Meringankan Sakaratul Maut Umatnya
Kasih sayang dan
pengorbanan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak kalah
besarnya terjadi pada akhir hayat beliau. Saat itu, Malaikat maut ditemani
Jibril datang kepada beliau mengabarkan hendak mencabut nyawa beliau.
“Bolehkah aku
masuk?” kata seseorang yang mengetuk pintu rumah Rasulullah. Saat itu Fatimah
menunggui sang Nabi.
“Maaf, ayahku
sedang demam,” jawab Fatimah. Tetapi, Rasulullah yang tahu bahwa tamu itu
adalah malaikat, beliau menyuruh Fatimah mempersilakan.
“Ketahuilah,
dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan
di dunia. Dialah malaikatul maut,” Fatimah menahan tangis, sadar akan berpisah
dengan ayah tercinta. Malaikat maut datang menghampiri, lalu mengajak
Jibril setelah Rasulullah menanyakannya.
“Jibril, jelaskan
apa hakku nanti di hadapan Allah?” tanya Rasululllah, suaranya telah
melemah.
“Pintu-pintu
langit telah dibuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka
lebar menanti kedatanganmu, ” kata Jibril.
Di saat seperti itu,
Rasulullah tetap memikirkan umatnya. Beliau tidak puas dengan jawaban Jibril
untuk beliau saja.
“Engkau tidak
senang mendengar khabar ini wahai kekasih Allah?” tanya Jibril. “Wahai Jibril,
bagaimana dengan nasib umatku kelak?”
“Jangan khawatir,
wahai Rasulullah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan
surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” kata
Jibril.
Setelah itu,
sesuai perintah Allah, malaikat maut perlahan-lahan mencabut ruh Rasulullah.
Fatimah dan Ali yang duduk di dekat Nabi tak kuasa menahan air mata. Bahkan
Jibril juga tak "tega." Namun, Rasulullah justru meminta agar beliau
menanggung sakaratul maut umatnya.
“Ya Allah,
dahsyat nian sakaratal maut ini, biarlah aku menanggung sakaratul maut ini,
jangan (beratkan sakaratul maut) pada umatku," pinta Rasulullah. Setelah
berwasiat “Ummatii, ummatii, ummatiii!” beliaupun menghembuskan nafasnya yang
terakhir.
Sang Nabi
terakhir yang sangat mencintai umatnya itupun menghadap Allah untuk selamanya.
Oleh karena itu, seyogyanya sebagai
umat muslim patut mencintai, mengikuti dan meneladani Rasulullah. Serta
memantaskan diri sebagai umat yang didambakannya. Sehingga kelak dapat bersama
di surganya. Amin.
Penulis : Zeed Hamdy Rukman (Mahasantri UPI
Bandung)