“Si-a-pa-eng-kau?” Terbata-bata aku mulai merangkai kata.
Mulutku kelu. Dia terlihat menggeliat, aku harap ia bisa mendengar suaraku.
Namun nyatanya ia seolah kembali tertidur.
Hening kembali menjadi temanku. Terkadang suara kecipak air
menjadi lagu pengantar tidur yang indah. Sayang, sosok itu tetap tidur seolah
tak menyadari keberadaanku.
Dalam tiap detik waktu yang kulalui disini, sering kali aku
berbahagia. Suara perempuan yang hangat akan terdengar. Disapanya diriku yang
menjawab terbata-bata. Dielusnya manja puncak kepalaku.
“Siapa engkau? Dewi kah?” tanyaku suatu hari. Namun
perempuan itu tak menjawab.
Setiap hari aku bertanya. Bertanya dan terus bertanya.
Perempuan itu tetap diam, seolah tak bisa mendengar pertanyanku. Bosan, kulirik
sosok serupa denganku. Matanya terbuka, menatapku malu-malu.
“Siapa engkau?” tanyaku lagi. Aku rasa pertanyaan ini adalah
pertanyaan terbanyak yang kulontarkan.
“A-aku saudaramu” jawabnya pelan, malu-malu.
Seiring semakin sempurnanya anggota tubuhku, semakin
banyak pula hal yang aku ketahui.
Perempuan bak dewi itu dipanggil Ibu. Bersamanya ada sosok ‘Ayah’ yang
memanggilku dengan nada sama menyenangkannya dengan Ibu. Mereka berdua begitu
menyenangkan. Bercerita tentang banyak hal.
Dunia diluar sana amat luas. Ada banyak orang yang bisa
ditemui. Ada banyak tempat yang bisa dikunjungi. Bahkan ada banyak hal yang
harus dicoba sendiri. Ayah sering bercerita tentang tempt kerjanya. Tentang ia
yang amat bangga menjadi seorang guru yang dikelilingi banyak murid. Aku belum
mengerti apa itu guru, apa itu murid. Namun aku yakin itu hal yang
menyenangkan. Karena suara Ayah terdengar berseri ketika menceritakannya.
Ibu juga sering bercerita. Tentang betapa menyejukkannya
berlindung dibalik pohon yang ada di pekarangan rumah. Tentang betapa indah dan
senangnya Ibu melihat taman bunga yang ibu tanam tumbuh subur. Ibu juga sering
bercerita tentang anak tetangga yang begitu menggemaskan. Ibu berkata agar
nanti aku bisa menjadi teman baik dengannya. Aku mengangguk patuh.
Ayah dan Ibu juga sering bercerita bersama. Tentang
televisi, internet, dan apalah itu. Aku penasaran. Aku penasaran !
Aku mulai tak sabar. Mereka yang bersayap memberitahuku
bahwa waktuku untuk menyapa dunia sudahlah tak lama lagi. Darahku terasa
terpompa keseluruh sudut, membuatku menendang-nendangkan kakiku sembarang arah,
menyalurkan adrenalinku. Malah, kudapati Ibu tertawa. Bahkan Ayah ikut
menyentuhku saat aku sibuk menendang tak karuan. Aneh, batinku.
Kulirik saudaraku. Ia terlihat tenang. Tak ada raut tak
sabaran sama sekali dari wajahnya. Dibalik bulu mata lentiknya ia menatapku
cemas.
“Wahai saudaraku, sungguh tempat ini adalah tempat yang amat
nyaman” ucapnya, sungguh aneh ia duluan memulai percakapan.
“Benar saudaraku. Namun diluar sana ada dunia yang amat
hebat. Kau juga mendengarnya dari Ayah dan Ibu bukan? Tidakkah kau berhasrat
untuk segera melihatnya saudaraku?”
Lama ia terdiam, layaknya menimang sesuatu. Namun aku tahu
ia belum selesai bicara.
“Tidakkah kau takut?” tanyanya ragu-ragu.
“Takut? Takut apa?” balasku tak mengerti.
“Ada banyak kelam di dunia sana saudaraku. Bukankah pemilik
segala alam telah menyerukannya pada kita? Untuk terus bersaksi bahwa ia adalah
penguasa? Bertanggungjawab akan segala ucapan dan tindakan kita?”
“Aku mengerti saudaraku. Namun tidakkah jua kau ingat? Kita
hadir untuk tujuan itu. Hidup dan bersebaran di bumi pencipta, bersujud dan
menghamba dimanapun diri berada”
“Aku takut saudaraku, tanggung jawab itu begitu besar. Kabar
pertakut sungguh mengerikan”
“Tuhan tak hanya menyediakan kabar pertakut! Ia lebih banyak
menyediakan kabar gembira! Bertawakallah saudarku! Kita akan menghadapi ini
bersama” sepertinya ucapanku kali ini cukup meyakinkannya.
Senyap dan sepi sempat menguar antara kami. Tiba-tiba saja
mereka yang bersayap datang, tersenyum ramah. Dikabarkannya akan dunia yang
akan segera kami singgahi. Berkali-kali dielukannya tujuan utama kami berada
disini. Diingatkannya berulang kali. Seolah sudah banyak orang yang lupa,
hingga perlu kirnya ia ucapkan terus menerus.
“Tenanglah Wahai Engkau yang bersayap! Pegang janji kami.
ucapkan salam pada pemilik sekalian bumi dan langit!” ucapku yakin. Saudaraku
tersenyum ramah pada sosok bersayap itu, tak berujar sepatah kata pun.
Lalu mulai kudengar nada panik dari Ayah dan Ibu. Ayah
segera membawa Ibu dan kami ke tempat yang bernama rumah sakit. Disana
terdengar suara lebih banyak orang. Dadaku makin menggebu.
Namun kudapati Ayah mulai resah seketika Ibu makin merintih
kesakitan. Apa aku menendang terlalu keras? Aku coba menenangkan saudaraku yang
mulai terlihat gusar.
Mereka yang bersayap kembali datang. Bertanya sekali lagi.
Aku mengangguk mantap.
Sayang, dalam diam saudaraku menggeleng. “Aku mengakui
pencipta seluruh alam. Beriman akan kabar gembira dan kabar pertakut. Dan aku
menyerahkan segala urusanku pada Nya. Namun jika memang aku diberikan
kesempatan untuk memilih, izinkan aku kembali kini. Aku memilih pergi” ujar
Saudaraku tegas. Jarang kudapati nadanya seyakin ini.
“Kenapa Saudaraku?” tanyaku setengah berteriak.
“Suatu hari kau kan mengerti. Sampaikan rasa cintaku pada
Ayah dan Ibu yang tak sempat ku salami nanti Saudaraku!” jawabnya seraya keluar
mendahuluiku, melihat dunia dengan mata yang sudah terpejam penuh.
Aku berteriak pada mereka yang bersayap. Mereka tak
menjawab. Hanya membelai puncak kepalaku, berkata bahwa ini adalah pilihan
Saudaraku, dan Yang Maha Pengasih mengabulkan itu. Tak lama aku mulai merasa
ganjil. Tubuhku serasa terdorong keluar dari tempat yang nyaman ini. Mereka
yang bersayap mengucapkan selamat jalan.
Aku mengedipkan mataku berkali-kali. Udara terasa begitu
dingin, tak sama dengan tempatku dan saudaraku dulu. Tangisku langsung pecah
seketika sadar akan hadir Saudaraku yang telah hilang. Diputuskannya untuk
pergi bahkan sebelum sampai disini.
Ibu langsung menggendongku, memelukku erat. Sedang Saudaraku
dipeluk Ayah. Mereka yang bercahaya terlihat menungguiku. Sayang, kutemui
bayangan hitam diantara mereka. Bentuknya menakutkan, menyeringai ke hadapanku.
“Selamat datang!!” ucap sang cahayadan kegelapan bersamaan.
Keduanya sama tersenyum menyambut, mengulurkan tangan.
Hujanku makin deras. Saudaraku benar, ini semua benar
menakutkan. Namun dalam belai Ibu aku menemukan kepercayaan. Ibu berbisik
sambil menangis. “Ibu dan Ayah akan menjagamu Sayang”. Setelah itu aku baru
bisa kembali tenang. Sayang Saudaraku tak disini.
END
Penulis : Matahari (Mahasantri UPI Bandung)
0 komentar:
Posting Komentar