Religion and Science |
Tak dapat dimungkiri bahwa dalam kehidupan umat manusia saat ini, sains
memegang peranan penting. Keberadaan sains menjadi dasar kemajuan teknologi
yang semakin memudahkan kehidupan manusia. Satu sisi, peran agama semakin
melemah seiring menguatnya peran sains.
Orang beragama memakai kitab suci mereka untuk mengklaim beragam
kebenaran berdasarkan kepercayaan bahwa kitab suci mereka, yang memberitakan
beragam kebenaran itu, adalah wahyu Ilahi, bukan berdasarkan bukti-bukti
objektif. Kebenaran imaniah
(berdasarkan kepercayaan) ini diyakini benar, absah dan berlaku mutlak dan
dipercaya tak bisa salah karena dianggap datang sebagai wahyu dari Allah
(Tuhan) yang tidak mungkin salah.
Menurut agamawan, tak perlu ada pembuktian atas semua kepercayaan
keagamaan. Sebab kebenaran sudah dijamin oleh Allah sendiri yang memberi wahyu.
Namun sikap seperti ini menimbulkan pertanyaan: berhubung setiap agama apapun
adalah sebuah sistem kepercayaan yang dibangun oleh manusia sendiri tentang
wahyu Ilahi, apakah sudah pasti keyakinan ini benar dan sesuai dengan wahyu
Ilahi?
Dalam dunia sains atau ilmu pengetahuan, suatu klaim saintifik hanya
diterima benar atau absah jika ada bukiti-bukti empiris yang mendukungnya.
Sains dibangun berdasarkan fakta-fakta.
Seiring berjalannya waktu, bukti-bukti dan fakta-fakta baru senantiasa
ditemukan, atau fenomena alam bisa sudah lebih banyak dikuak, dan posisi-posisi
saintifik lama bisa tidak sinkron lagi dengan bukti-bukti baru, maka suatu
posisi teoretis saintifik dengan sendirinya selalu terbuka untuk dievaluasi
ulang.
Hal ini bisa menimbulkan perubahan besar yang terjadi pada
pandangan-pandangan sainstifik yang relatif sudah kokoh. Sejalan dengan itu,
sains tak bisa diabsolutkan (dimutlakkan), meskipun tentu saja ada berbagai
posisi saintifik yang sudah teruji dan kokoh sebagai teori-teori besar.
Secara umum, ringkas, dan serampangan, ada lima posisi yang dapat
diambil kalau agama mau ditempatkan dalam hubungannya dengan sains. Lalu posisi
apa saja yang secara umum bisa menggambarkan relasi agama dan sains?
Semacam kasih Tanpa Sampai
Agama dan sains dipandang
menempati wilayah masing-masing yang otonom dan tak bisa dipertemukan, terpisah
satu sama lain selamanya, dan tidak bertumpang tindih. Dalam posisi ini, agama
condong terdorong untuk menggeluti hanya soal-soal moral, ritual, dan kehidupan
individual umat yang tidak bersentuhan sama sekali dengan sains yang terus
berkembang.
Adaptasi Demi Mesra Bersama
Agama tunduk dan
menyesuaikan diri sepenuhnya pada sains dengan akibat agama kehilangan
autentitas dan eksistensinya, ditinggalkan, dan hal-hal yang semula dijawab dan
disediakan agama, dijawab kemudian dan disediakan oleh sains. Dalam posisi ini,
agama masih ada, namun sudah bertransformasi menjadi agama naturalis
dengan membuang dimensi-dimensi supranaturalnya.
Ogah Kalah
Agama diklaim lebih unggul
dibandingkan sains, dan mengendalikan atau membinasakan sains. Dalam posisi
ini, wahyu dan iman dipandang lebih tinggi dari, dan tak bisa digantikan oleh,
sains.
Seperti Sedang PDKT
Dalam posisi ini dianggap
ada sejumlah kaitan antara agama dan sains. Kaitan tersebut adalah
tujuan-tujuan besar dan esensial baik dari agama maupun dari sains sehubungan
dengan kehidupan, manusia, masa depan, peradaban, dan jagat raya. Dengan posisi
seperti ini, dipandang memungkinkan jika agama dan sains terlibat dialog yang
tak pernah usai di sekitar tema-tema yang pararel ini. Kedua belah pihak
berharap lewat dialog ini satu sama lain akan memperkaya. Melalui dialog juga
kebenaran-kebenaran moral yang lebih besar dan lebih penuh diharapkan akan
didapat.
Persis Putus Pacaran
Agama dan sains dipandang
dan diperlakukan selalu ada dalam hubungan tegang penuh konflik yang tak akan
bisa didamaikan atau diselesaikan. Agama dan sains dipandang berperang terus-menerus.
Keduanya mengambil sikap antaogistik satu sama lain. Posisi ini tampak
“dibenarkan” oleh perbedaan mendasar antara watak agama dan watak sains yang
satu sama lain berkonflik dan tidak bisa dipertemukan.
Para agamawan yang tidak
konservatif, pada umumnya akan mengambil posisi yang keempat, seperti sedang PDKT.
Jika ini memang posisi mereka, dari mereka diperlukan usaha keras untuk bisa
memanfaatkan perkembangan sains dengan kreatif bagi tujuan-tujuan dialog
sehingga mereka bisa berdawakwah dengan baik.
Kita semua, sebagai
manusia ciptaan Allah, tak boleh merasa lelah, tidak boleh dogmatis, dan tidak
boleh mengklaim telah tiba pada kebenaran paling akhir dan paling penuh. Kita
bersama-sama berjalan, menempuh ziarah yang tak pernah selesai, kendati cara
berjalan yang masing-masing ditempuh berbeda-beda. Akan selalu ada kawasan yang
dipegang dan diyakini, dalam agama-agama, begitu juga dalam sains. “kebenaran
hari ini bukanlah berarti kebenaran esok hari,” kata DEWA19.
B.Ah.Wg.031149.37.060816.18:30