Minggu, 17 Juli 2016

Jangan Putus Asa Mencintai Indonesia


Sore ini, pukul 18:05 – 18:30, hasratku tertuju pada acara Metro This Week. Acara yang merangkum berita “besar” dalam sepekan ini seperti harus ku tonton. Selama sepekan terkapar karena sakit, hampir aku ketinggalan berita-berita di televisi. Bagi sebagian orang mungkin tidak penting, tetapi bagiku berita televisi juga penting, meski untuk saat ini berita yang menyangkut urusan negara mulai dimuati kepentingan. Selain berita politik, infotainment juga menarik. Sejarah memang tidak hanya berisi kejadian “besar”, kejadian “kecil” pun turut mengisi sejarah. Karena itu, bagiku, selain berita tentang KPK, berita tentang Asmirandah juga layak untuk disimak. Untuk memperoleh berita pembanding, biasanya aku berlari ke media selain televisi, seperti koran.


Sebagai bagian kecil dari bangsa dan warga negara Republik Indonesia, aku pun turut miris melihat kondisi bangsa dan negara ini. Sepertinya Indonesia sudah dalam kondisi kritis dari penyakit komplikasi. Banyak bidang yang ada di Indonesia, tidak bisa lagi dibanggakan. Bahkan pertanian dan perikanan yang seharusnya menjadi lahan kita pun sudah tidak bisa berbuat banyak di dunia. Belum lagi masalah pertambangan. Kekayaan alam yang ada di Indonesia, barangkali cukup untuk menyejahterakan seluruh masyarakat Indonesia. Bahkan bisa saja Indonesia menjadi semacam badan amal dunia yang membantu menyejahterakan masyarakat internasional.


Bidang pendidikan di Indonesia, sudah tertinggal jauh bahkan oleh negara tetangga sekalipun, Singapura. Untuk kurikulum yang kerap ganti, bukanlah masalah utama jika sedikit melihat ke dalam. Toh berganti-ganti kurikulum pun materi pelajaran tetap itu-itu saja, gurunya ya itu-itu saja. Kalau guru di lembaga pendidikan formal memang menguasai materi pelajaran dan sanggup mendidik (bukan hanya mengajar), tentu kurikulum yang ganti bukanlah masalah berat. Produk-produk lembaga pendidikan formal di Indonesia, secara umum, hanya sanggup melahirkan buruh. Buruh bukan hanya yang bekerja di pabrik saja, tetapi PNS pun bisa disebut buruh. Indonesia, yang sudah berusia 68 tahun lebih, belum pernah menempatkan seorang putra bangsa meraih nobel. Belum lagi kenakalan remaja. Kasus tawuran dan perkosaan yang kerap menimpa murid sekolah (baik SMP maupun SMA), mengurangi kepercayaan orang tua terhadap lembaga yang menyedot APBN sebesar 20% ini. Ada pula lembaga pendidikan seperti pesantren. Namun di zaman sekarangpun pesantren, belum mampu melahirkan produk yang bisa banyak bicara di tingkat nasional.


Bebagai kasus korupsi yang menghiasi layar televisi dan halaman koran pun seolah menjadi hal lumrah. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat pemerintah. Bahkan aparat yang belum tertangkap karena korupsipun sudah dianggap akan korupsi. Di saat seperti ini, banyak kalangan yang dengan rasa Ge-eR maju ke pentas Pemilu, menyuarakan suara untuk membasmi korupsi. Sepertinya suara mereka sangat manis ditengah pahitnya kultur birokrasi negara ini. Tidak kalah miris adalah kasus korupsi menimpa pejabat dibidang yudikatif, yang tugasnya untuk menegakkan hukum di negeri ini. Ada juga dari partai yang katanya religius pun kadernya terjerat korupsi juga. Di tingkat sekolah, saling mencontek seperti hal biasa. Jika sejak kecil, pendidikan korupsi sudah diterapkan tanpa tindakan tegas, masihkah berharap korupsi hilang di negeri ini? Memang ada KPK yang sampai saat ini cukup hebat membongkar berbagai kasus korupsi, tetapi KPK tidak ubahnya MUI, yang merinding saat berhadapan dengan rezim berkuasa. Logis memang, anggota KPK tidak seberapa dibanding kasus yang mereka harus selesaikan. Bahkan KPK bisa saja mati dikeroyok jika pejabat negeri ini ramai-ramai korupsi.


Negara dengan populasi muslim terbesar di dunia ini juga tidak terlepas dari masalah kerukunan umat beragama. Bahkan umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini pun belum mampu menciptakan kerukunan internal. Saling menyerang keyakinan aliran Islam lain sudah lazim. Biasanya adalah kalangan Ahmadiyah dan Syi’ah yang diserang. Atau juga kalangan Islam Liberal. Saat penyerangan melalui meja dialog sudah tidak bisa menyelesaikan, lari ke fisik. Penyerangan tempat ibadah kelompok tertentu sudah marak. Di saat seperti ini, menteri agama justru mengeluarkan pernyataan yang menyesakkan dada. Katanya, dalam sebuah pertemuan, untuk menyelesaikan kasus ini usir saja Ahmadiyah. Memang segampang itu? Ahmadiyah pun sudah ada sejak pra kemerdekaan, bahkan presiden pertama Indonesia, Soekarno pernah dituduh sebagai misionaris Ahmadiyah. Belum lagi hubungan antar agama yang secara mendasar sudah terdapat beragam perbedaan.


Masih banyak contoh lain yang menggambarkan hancurnya negara dan mental bangsa saat ini. Masihkah kita diam saja? Menunggu pemimpin yang sanggup membangun Indonesia? Bukankah keberhasilan pemimpin juga ditunjang dari masyarakat yang dipimpinnya? Sambil berusaha melahirkan pemimpin yang hebat, yang sanggup menyejahterakan seluruh masyarakat, kita sebagai bagian dari masyarakat pun halal untuk turut membangun Indonesia. Sejelek apapun Indonesia saat ini, jangan putus asa mencintai republik ini. Negeri ini sangar kaya akan sumber daya alamnya, masyarakatnya sangat banyak dan beragam. Dahulu, negeri ini dikenal sebagai surga dunia, dengan kekayaan alamnya dan keramahan masyarakatnya. Untuk sekarang, anggapan seperti itu perlu dikaji ulang. Dibalik hancurnya negara ini, tentu masih ada mereka yang peduli terhadap keutuhan negeri ini. Mereka yang peduli inilah yang jarang sekali disorot media. Kira-kira, dimanakah posisi kita saat ini? Bergabung dengan “gerakan” penghancur negeri? Pembangun negeri? Atau diam saja mengikuti keadaan yang terus berganti?


Penulis : Zeed Hamdy Rukman

Share:

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.