Minggu, 15 Mei 2016

Generasi Bisu Menuju Generasi Aktif


Generasi Bisu Menuju Generasi Aktif

Guru mengajar, murid diajar. Guru mengetahui segalanya murid tidak tahu apa-apa, guru berpikir murid dipikir, guru ceramah murid mendengarkan, guru mengatur murid diatur, guru memilih dan melaksanakan pilihannya sedangkan murid hanya menuruti saja.

Dari pernyataan di atas, seakan-akan dalam pendidikan muridlah yang menjadi objek dan guru adalah subjeknya. Murid dianggap seperti benda mati, dapat dipindah ke sana ke mari. Itulah yang dikatakan Gaya Banking dalam mengajar. Menurut Paulo Freire, konsep pendidikan Gaya banking hanya menghasilkan budaya bisu yang berujung pada kebodohan dan ketertindasan. Karena murid kehilangan kemampuannya untuk mengemukakan pendapatnya dan juga kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensinya.

Banking dalam bahasa indonesia berarti menabung, jadi konsep Gaya banking adalah pendidikan layaknya proses menabung, dimana sang guru sebagai nasabahnya, sedangkan murid adalah pihak bank yang menerima tabungan ilmu  dari sang guru.  Guru menabung atau menyimpan sejumlah pengetahuan dengan cara menyampaikan suatu konsep dan kemudian siswa mengulanginya dengan patuh dan tunduk. Guru bisa mengambil hasil tabungan pengetahuannya ketika di akhir semester. Murid diharapkan bisa mengerjakan soal ujian sesuai dengan apa yang guru sampaikan.

Praktik pendidikan gaya banking menggunakan tujuan-tujuan pembelajaran yang sangan mekanistis dan kaku, sehingga hilanglah sisi humanistik dari pendidikan. Tidak memberi kesempatan kepada murid untuk berbicara mengemukakan pendapatnya, tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan potensinya. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep pendidikan gaya banking ini merupakan praktik dehumanisasi, karena mengekang humanitas manusia dengan praktik pendidikan yang kaku dan monoton.

Pada zaman sekarang, banyak siswa atau bahkan mahasiswa yang telah terjangkit penyakit nekrofili. Nekrofili adalah gejala psikologis yang membuat si penderitanya tidak menyukai kemajuan, cara hidupnya mekanis, bergantung pada takdir, bukannya merancang kehidupan tetapi malah larut dalam kehidupan. Belajar bagi penderita nekrofili adalah menghafal, belajar bertujuan untuk menyelesaikan tes atau soal-soal ujian guna mencapai nilai yang tinggi. Padahalnya, output dari proses pendidikan yang real adalah kedewasaan. Dapat mengimplementasikan ilmu-ilmu yang didapatkan di kehidupannya.

Konsep pendidikan gaya banking yang menghasil generasi bisu, bodoh, dan fatalisme atau takluk terhadap takdir, dapat diberantas melalui gaya pendidikan yang transformatif. Transformatif adalah konsep pendidikan yang anti dehumanisasi. Memanusiakan manusia adalah misi dari konsep pendidikan transformatif. Memberi kesempatan murid untuk selalu mengemukakan pendapatnya, memberi kesempatan untuk terus mengembangkan potensinya.

PAKEM atau pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan juga dapat dilakukan untuk menanggulangi adanya praktik gaya banking pembentuk generasi bisu, bodoh, dan fatalisme. Seperti yang tercantum pada PP. No. 19 Tahun 2005 bahwa: “Pakem adalah proses pembelajaran yang harus diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, memberi ruang yang cukup bagi pengembangan prakarsa, kreativitas sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik, serta psikologis siswa.” (Hamid, 2010:87).

Jadi, seorang guru harus memiliki strategi pengajaran yang beraneka-ragam. Yang dapat menarik murid untuk selalu aktif di dalam kelas. Seperti permainan, kuis, praktek, penelitian dan lain sebagainya yang dapat disalurkan kepada murid ketika proses belajar mengajar berlangsung. Sehingga dengan begitu, aspek-aspek kepribadian seperti fisik, motorik, kognitif, afektif, bahasa, sosial, spiritual, dan moral anak akan terangsang oleh stimulus-stimulus positif yang diberikan oleh sang guru, sehingga berkembanglah aspek-aspek kepribadian tersebut.

Penulis : Dewi Indah Dahlia
Editor   : Zeed Hamdy Rukman



Share:
Diberdayakan oleh Blogger.